Kamis, 12 April 2012


Mendalami Makna Syahadat (fiqh asy-syahadah)
Dari Sisi Sosial

            Syahadat adalah landasan ke-Islam-an seseorang. Ibarat  sebuah bangunan rumah, syahadat adalah pondasi. Rumah yang tidak memiliki pondasi yang kuat, sekalipun genting-gentingnya bagus, maka rumah itu akan mudah roboh oleh teriknya panas, guyuran air hujan dan terpaan badai. Sesungguhnya selemah-lemah rumah adalah sarang laba-laba. Syahadat laksana hishnun matin (benteng yang kokoh) atau al-‘urwah al-wutsqa (tali yang kuat).
            Orang yang bersyahadat dengan benar dan menghayati segala konsekuensi yang terkandung di dalam kalimat pendek itu (kalimah thayyibah), ia akan teguh dalam menghadapi fluktuasi kehidupan.
            Salah satu urgensi syahadat yaitu (
أَسَاسُ اْلإِنْقِلاَبِ). Syahadat merupakan dasar perubahan total, baik pribadi maupun masyarakat. Karena syahadat dapat merubah kondisi suatu masyarakat, bangsa dan negara secara menyeluruh, dengan sentuhan yang sangat dalam yaitu dari dalam tiap diri insan. Karena jika seseorang dapat berubah, maka ia akan menjadi perubah yang akan merubah masyarakatnya. Allah berfirman dalam (QS. 13 : 11) :
إِنَّ اللَّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِم
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah kondisi suatu kaum, hingga mereka mau merubah diri mereka sendiri.”
            Diatas pondasi yang kuat ini akan tegak pula sistem kehidupan Islami. Sistem ekonomi, sosial, politik, pendidikan, militer dan juga sistem akhlak. Kehidupan yang tidak berlandaskan akidah ibarat membangun istana pasir. Membangun di atas permukaan balon.
            Jika kembali pada surat al-‘Alaq, maka syahadat adalah sebuah keputusan final. Keputusan ini bukan diperoleh karena tekanan eksternal dirinya, tetapi lahir dari motivasi dirinya sendiri (motivati intristik), lewat iqra’. Iqra’ adalah melihat, menimbang, menerawang, berfikir (ijtihad), merenung, melatih diri dengan latihan ruhani (mujahadah), dan mengorbankan apa yang dimilikinya untuk pencarian itu (jihad), membanding (muqaranah), mengukur, tentang diri, Rabb, dan alam raya. Akhirnya sampailah di ujung perjalanan. Itulah dia, syahadat kebenaran. Itulah keyakinan secara total (al-yaqinu kulluhu). Itulah gelora keimanan.
            Tidak mengherankan jika aspek terpenting dalam kehidupan, pendidikan misalnya, tanpa landasan kebenaran terasa hampa. Dalam kehidupan yang lebih luas menjadi kering. Masyarkat sipil berwatak militer, manusia modern berkarakter primitif. Manusia yang secara fisik sehat, tetapi batinnya kesakitan. Hidup dalam kesepian di tengah keramaian.
            Mentransformasikan kebenaran iman merupakan langkah mendasar untuk menyelamatkan kehidupan. Iman adalah bekal untuk menggapai keridhaan dan pengakuan Allah. Iman adalah jembatan menuju akhirat. Kita tidak akan mampu menuju surga yang dipenuhi oleh hal-hal yang dibenci (huffat bil makarih) tanpa iman. Sebagaimana kita takkan berdaya menghindarkan diri dari api neraka yang diselimuti dengan sesuatu yang menggiurkan tanpa kekuatan iman.
            Hanya iman yang bisa melahirkan perikemanusiaan manusia. Imanlah yang memfungsikan tujuan dihadirkannya manusia di dunia, yaitu menyembah Allah dan membuatnya mencintai ibadah, hingga mengabdi menjadi sesuatu yang menyenangkan. Iman yang mengantarkan kita untuk mendekati Allah dengan melaksanakan kewajiban dan sunnah. Bertolak dari sini akan menimbulkan cinta timbal balik antara makhluk dan al-Khaliq. Allah menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat, menjadi tangannya yang dengannya ia memukul. Jika ia memanggil-Nya dengan seruan, Dia menyambutnya, dan jika ia meminta-Nya, Dia mengabulkannya.
            Iman adalah bekal untuk menggapai kebahagiaan di dunia. Iman yang bisa menemani harta, tahta, wanita, segala aspek kehidupan menjadi bermakna. Dunia tanpa disinari oleh cahaya iman akan membuat pemburunya kecewa. Betapa banyak sesuatu yang pesonanya menggiurkan, lalu mereka membanting tulang untuk meraihnya dengan suatu harapan bahwa disana terdapat kebahagiaan yang diidamkannya, namun setelah ditemuinya hanya berupa fatamorgana. Dikira air oleh orang yang kering kerongkongannya, karena kehausan, tetapi ia tidak menemukan apa-apa. Yang diburu hanyalah bayangan semu (QS an-Nuur : 39)

0 komentar:

Posting Komentar