BERAWAL
DARI SEBUAH MUSIBAH, MENJADI SEORANG PENGEMIS DEMI MENGHIDUPI KELUARGA
Dulu
nasib seorang bapak paruh baya kelahiran Sukabumi 57 tahun lalu yang sudah
memiliki 6 orang anak ini tidak separah sekarang ini. Bapak dengan nama Hendrik
Andrean yang biasa dipanggil Pak Hendrik sudah menjalani aktivitas sebagai
seorang pengemis sejak tahun 2000 silam. Karena sang istri tercinta merantau ke
negri orang, terpaksa beban keluarga beliau tanggung sendiri. Dari mulai
memasak, mencuci, mengurus rumah, bahkan mempersiapkan semua peralatan sekolah.
Memang kasih sayang orang itu sangat
tulus tanpa mengharapkan timbal balik. Kasih sayang tak akan pernah tergantikan
oleh apapun, dimanapun, bahkan sampai akhir hayatpun yang namanya kasih sayang
orang tua tak akan pernah putus. Apapun akan mereka lakukan untuk kebahagiaan
dan kesuksesan anak-anaknya. Begitu pula yang dialami pak Hendrik, demi biaya
hidup anak-anaknya beliau rela mengemis di perempatan Kiara Condong dari pukul
06.00 pagi hingga petang. Dengan penghasilan Rp. 25.000 – Rp. 30.000/ harinya.
Dulunya beliau seorang supir yang berpenghasilan lumayan, tetapi semenjak
kecelakaan yang
melibatkan mobil yang dikendarainya masuk jurang. Sejak itu beliau mempunyai
kekurangan pada kakinya, yang sampai sekarang aktivitasnya ditemani sebuah
tongkat yang bisa memapahnya.
Keterbatasan ternyata tak membuat
semangat hidup beliau berkurang, karena beliau sadar ada anak-anaknya
membutuhkan biaya, kasih sayang, dan perhatian darinya. Apalagi ketiga anak
bapak yang masih duduk di bangku sekolah masih membutuhkan lebih perhatian dan
tanggungjawab dari sosok seorang ayah. Keingina beliau tidaklah muluk-muluk.
“bapak mah teu hoyong nanaon eneng, aa. Bapak mah ngan hoyong ningali anak-anak
bapak bisa terus sakola nu luhur, beh jadi jelema teu jiga bapak” jawab beliau
sambil tersenyum simpuh, ketika kami tanya.
Motivasi beliau menjadi seorang
pengemis sangatlah mulia, disamping karena keterbatasan fisik beliau mempunyai
cita-cita lain yakni, ingin melihat anak-anak nya sukses dan bisa menitipkan
masa tua beliau pada mereka. Selagi beliau mampu beliau tidak mau menjadi beban
anak-anaknya.
Sungguh hebat beliau ini, tetap
optimis ditengah keadaan yang serba kekurangan. “oh, teu saeutik ge neng, puguh
ku kaayaan kieu bapak tiasa sukuran kanu kawasa. Ieu cocobi kanggo bapak
panginten neng”. Jawaban beliau dengan tegasnya, ketika kami bertanya “ bapak
pernah merasa Tuhan tidak adil dengan keadaan bapak seperti ini ?”. Sikap
optimis dan kesabaran beliau perlu kita renungi dan jadikan sebuah motivasi
bagi kita sebagai insan akademi.
Bandung, 5 Desember 2011
1. Pewawancara : a. Ipan Gunawan
b. Kurnia Erliani
2. Nara
Sumber : Hendrik Andrea
(Pengemis)
0 komentar:
Posting Komentar